BOOM. Suara itu terdengar begitu dekat, tetapi tidak terlihat tanda-tanda adanya ledakan di dekat situ. Ah, paling suara knalpot mobil orang, pikir gue saat itu. Bodoh.
"Kayak... suara bom?" Ucap nyokap gue, yang duduk tepat di sebelah gue di sebuah angkot menuju Kampung Melayu.
"Lah memang Mama pernah denger suara bom kayak gimana?" tanya gue, masih bercanda. Nyokap gue agak tersenyum dengan ucapan dia sebelumnya. Ya secara logika seorang April, mana mungkin ada bom di wilayah kayak gini: bukan kawasan elit, bahkan cenderung kumuh.
Angkot yang gue tumpangi akhirnya sampai di tempat pemberhentian terakhirnya, yaitu di bawah flyover Kampung Melayu. Turun dari angkot, gue dan nyokap melihat pemandangan yang berbeda dari hari-hari biasanya: banyak orang berkumpul melihat ke satu titik di sebelah toilet tepat di dekat halte Transjakarta, di mana ada asap mengepul tebal.
Masih berdiri di putaran tepat di bawah flyover Kampung Melayu, gue mencium bau aneh: karet terbakar. Sebenernya gue ngga pernah nyium bau karet kebakar sih... hehe tapi baunya aneh dan nyokap gue juga setuju kalo ini seperti bau karet terbakar.
Ngga jauh dari kita, ada dua orang yang sepertinya sepasang kekasih. Yang laki-laki terlihat seperti orang asing dan yang wanita seperti orang Indonesia biasanya, dan dia terlihat menangis dipelukan laki-laki itu.
Sementara itu, di depan kita ada segerombolan anak muda sekitaran umur 15-20 tahun, berteriak ke satu sama lain. "WOY", "ITU ITU", dan sautan-sautan lain yang ngga bisa gue dengar dengan jelas sambil nunjuk-nunjuk ke arah kepulan asap.
Ah, atau ada tawuran ya, pikir gue lagi. Masih bodoh.
Menyadari ada sesuatu yang salah, gue narik nyokap gue untuk menjauh. Kira-kira yang ada di pikiran gue saat itu adalah seperti ini: udah, sekarang mending menjauh, balik lagi ke stasiun, pokoknya jangan di sini, pergi jauh-jauh! Tapi sambil berusaha menunjukan ekspresi tenang supaya nyokap gue ngga panik. Gue pegang tangan nyokap gue, bilang kalo mending ke stasiun lagi dulu--yang merupakan suatu ide yang sangat bodoh.
Lalu kita menyebrang ke depan suatu minimarket yang ngga jauh dari lokasi kepulan asap, di jalan ke arah Stasiun Tebet. Di depannya ada sekumpulan bapak-bapak yang sedang duduk santai sambil merokok. Penasaran dengan apa yang terjadi, nyokap gue nanya ke mereka.
"Ah itu mah ban kebakar, baunya kayak begini." Kemudian mereka tertawa setelah mendengar ucapan nyokap gue yang mengira bahwa ada ledakan bom. "Bom mana mungkin baunya begini."
Lah kayak pernah nyium bau bom aja, pikir gue lagi, masih berpikiran negatif.
Kemudian nyokap gue memberikan sugesti untuk mesen taksi online aja supaya bisa pulang (lokasi kepulan asap adalah jalan yang harus kita lewati kalo kita mau pulang dari situ). Tapi, nyokap gue juga menyarankan untuk memesan dari jalan yang menuju RS Premier, yang artinya kita harus berjalan lagi ke arah kepulan asap.
Meskipun setengah hati karena harus berjalan lagi ke situ, gue akhirnya menyetujui, dan kita pun berjalan ke arah terminal. Sampai kemudian ada bapak-bapak yang berjalan berlawanan dengan kita mengabarkan bahwa itu tadi suara ledakan bom bunuh diri, sambil tersenyum. Ya, bom bunuh diri. Dan ya, sambil tersenyum.
Sambil istighfar berkali-kali, gue langsung pegang tangan nyokap gue dan membalikan badan, berjalan cepat menjauh dari tempat kejadian yang berada di sekitar 100 meter dari tempat gue saat itu berdiri (sebelumnya gue nulisnya 500 meter, tapi pas gue cek di maps ternyata kurang dr 100 meter). Baru dua atau tiga langkah, gue denger ada ledakan yang keras.
BOOM.
BOOM.
Reflek gue sama nyokap gue lari sambil istighfar. Di belakang kita motor-motor dan mobil-mobil ngebut menjauhi lokasi suara ledakan. Gue pun teriak ke nyokap gue, ngingetin supaya hati-hati karena orang-orang yang nyetir ini pasti lagi panik dan mungkin ngga ngeliat kita yang lagi lari.
Sambil lari, gue mencoba memberhentikan angkot tapi ngga ada yang mau berhenti :(
Lalu gue denger suara seorang ibu-ibu yang teriak histeris sambil nangis, "MASUK SINI BU! CEPAT SINI!". Ibu-ibu itu ada di pintu angkot yang ngga lama setelah itu berhenti di depan kita. Kita pun masuk dengan terburu-buru sambil mengucapkan terima kasih ke abang angkotnya yang mau mengangkut kita :')
Ternyata, ibu-ibu yang histeris itu tadi berada tepat di lokasi kejadian. Dia bercerita kalo dia melihat korban dan ceceran darah (detailnya ngga usah dijelasin lah ya). Gue langsung merinding dengernya ya Allah!
Gue masih ngga percaya gue berada di lokasi kejadian bom: mencium baunya, melihat kepulan asapnya yang tinggi dan tebal, dan melihat orang-orang yang panik menjauhi lokasi. Suaranya terdengar begitu jelas di telinga gue, meskipun Alhamdulillah, ngga berkesempatan untuk melihat ledakannya gimana (karena untungnya kita sudah berbalik badan) dan korban.
Abang angkotnya membawa kita ke lokasi yang agak jauh, tapi ngga sampe kokas juga sih. Di situ nyokap gue inget kalo kita punya saudara jauh. Kita pun memutuskan untuk ke sana sebentar sampai kita berdua tenang.
Sekarang gue dan nyokap gue udah sampe di rumah dengan selamat, Alhamdulillah ya Allah. Gue merasa dibangunkan sih dengan kejadian ini, bahwa ngga ada yang tau kapan ajal menjemput. Kalo gue sampe di lokasi satu atau dua menit lebih awal, mungkin ceritanya ngga bakal kayak begini. Sumpah, itu beneran jalan yang harus gue lewatin setiap hari kalo ke kampus. Ya, jalanan kecil di deket toilet itu, menerobos parkiran motor menuju terminal.
Ini jadi pengingat gue juga untuk tidak menunda-nunda solat. Solat di rumah aja itu memang sangat menggoda, tapi ngga ada orang yang tau apakah dia bisa sampai di rumah dengan selamat atau engga.
Kenapa sih ada orang jahat yang tega membunuh orang banyak dengan cara seperti ini? Apa sih yang membuat mereka tega? Orang-orang itu kan cuma orang-orang biasa yang ngga tau apa-apa. Ajaran agama apapun ngga ada yang membenarkan pembunuhan, apalagi membunuh banyak orang :(
Gue juga gangerti kenapa ada aja orang yang tega untuk memotret korban dan membagikannya di internet. Selain ngga etis, seharusnya orang tuh mikir bahwa ini bisa terjadi ke siapapun. Mana ada orang yang mau gambarnya tersebar di internet dengan keadaan seperti itu. Jujur, setiap ngeliat gambar itu gue pengen muntah, karena... ya... saat itu gue berada di lokasi itu for god's sake! Saat itu gue gatau apa yang akan terjadi ke gue dan nyokap gue.
Saat ini gue masih ngga bisa tidur, nyalain tv dengan volume yang agak keras untuk menenangkan pikiran gue. Pas banget, ada stasiun TV yang nayangin final Europa League.
Dan ya... setelah ini, keinginan gue untuk tinggal di desa semakin kuat.
---
edited 24/06/17 - Ditulis di malam hari setelah kejadian. Sempet di-post, terus dimasukin ke draft lagi karena kayak kurang penting gitu... hehehe. Malam ini malam terakhir bulan Ramadhan, yang artinya, selain suara-suara takbir yang menggema dari speaker masjid-masjid terdekat, ada aja orang-orang kurang kerjaan yang nyalain petasan. Suara petasan agak mengingatkan gue dengan suara ledakan bom itu. Mirip, tapi lebih gede lagi. Udah itu aja.
No comments:
Post a Comment