Sepulang dari rumah sakit, gue dan nyokap gue melihat
seorang pria paruh baya yang menggunakan tongkat untuk keluar dari sebuah
masjid, usai menunaikan sholat Jumat. Pria itu menggandeng seorang pria paruh
baya lain yang juga menggandeng seorang pria lainnya. Ya, mereka bertiga saling
bergandengan tangan untuk keluar dari masjid ke arah parkiran yang penuh motor.
Sempat menyenggol motor, akhirnya ketiga bapak tadi ditolong oleh orang-orang
yang berada di sana.
Satu persatu dari ketiga bapak tadi pun masuk ke angkot yang gue dan nyokap gue naiki. Hingga akhirnya tinggal satu bapak yang belum naik. Kedua bapak yang sudah berada di angkot pun memulai percakapan.
Satu persatu dari ketiga bapak tadi pun masuk ke angkot yang gue dan nyokap gue naiki. Hingga akhirnya tinggal satu bapak yang belum naik. Kedua bapak yang sudah berada di angkot pun memulai percakapan.
“Mana si Mu’in?” kata salah satu dari bapak tersebut.
“Dia nunggu istrinya.” Kata bapak yang lainnya.
Dan pemandangan berikutnya menurut gue adalah pemandangan
yang paling mengharukan yang pernah gue liat. Bapak bertongkat tadi berjalan di
tengah-tengah parkiran yang penuh motor, menggandeng seorang wanita paruh baya
yang menggunakan jilbab, yang gue rasa adalah istrinya. Orang-orang disana pun
memandu mereka keluar menuju angkot dan akhirnya keduanya pun duduk.
“Ini dia si Mu’in”
Lalu satu persatu orang buta mulai keluar dari masjid. Dua di
antaranya menaiki angkot, yang lainnya memilih untuk pulang jalan kaki. Mereka saling
menyapa satu sama lain seperti orang biasa, walaupun mereka tidak bisa melihat siapa orang yang menyapanya.
Mereka bercakap-cakap layaknya orang biasa, kebanyakan
tentang khotbah yang baru aja mereka dengar dari sholat Jumat barusan. Gue rasa
mereka sudah berteman lama karena mereka saling mengenal nama satu sama lain. Melihat
mereka mengobrol agak mengiris hati gue, karena mereka mengobrol seru dengan
pandangan lurus ke depan tanpa melihat lawan bicaranya. Tanpa sadar gue
memejamkan mata; mencoba untuk merasakan rasanya jadi orang buta.
Mata gue masih terpejam, mereka masih mengobrol asik. Gue bisa
merasakan keseruan mereka mengobrol tentang poligami. Mereka sama sekali tidak
menyinggung ketidakmampuan mereka untuk melihat. Gue merasa seakan-akan gue
berada di tengah-tengah orang normal walaupun pada kenyataannya gue berada di
tengah-tengah enam orang buta. Ya, meskipun pada dasarnya mereka adalah
orang-orang normal yang memiliki kekurangan fisik.
Salah satu dari mereka mengeluarkan uang lima ribu rupiah
dan menggumamkan sesuatu ke supir angkot. Kemudian ia memasukan uangnya kembali
dan mengambil sepuluh ribu rupiah untuk diberikan ke supir. Sang supir pun
memberikan kembalian seribu rupiah. Dan gue mulai bertanya-tanya, apakah mungkin
ada orang yang tega membohongi orang buta? Bagaimana kalo kumpulan orang-orang
buta itu dibohongi oleh orang-orang sekitarnya, terutama mengenai uang?
Ah, pengen rasanya untuk menanyakan langsung mengenai berbagai pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Tapi melihat mereka saling tertawa dan bercerita, gue merasa salut karena mereka tidak seperti orang kebanyakan yang selalu mengeluh atas cobaan-cobaan kecil yang dilimpahkan Tuhan.
Ketika sampai di suatu tempat, istri dari pak Mu’in berkata,
“Ini mah masih jauh”. Dan yang lainnya menimpali, “Ini masih di Asem”. Ya, Asem
itu nama tempat. Loh…..kok mereka bisa tau? Gue kaget. Mereka sama sekali ngga
nanyain ke orang yang ada di angkot udah sampai mana, bahkan ngga bilang ke
supir angkotnya. Mereka tau sendiri. Nyokap gue langsung berbisik ke gue, “Hebat”.
Ngga lama kemudian salah seorang dari mereka berteriak “KIRI”.
Tiga orang bapak yang ngga bisa melihat itu pun turun setelah mengucapkan
perpisahan dengan tiga orang buta lainnya; Pak Mu’in, istrinya, dan seorang
wanita paruh baya.
Terus gue perhatiin pak Mu’in dan istrinya. Gue langsung
senyum-senyum sendiri karena gue bisa merasakan ketulusan cinta dari keduanya. Mereka
sama sekali ngga bisa melihat paras satu sama lain sehingga pastinya cinta
mereka murni. Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang wanita daripada dicintai
secara tulus.
Tuhan mungkin telah menakdirkan mereka buta, tapi mata hati mereka tidak pernah buta.
Tuhan mungkin telah menakdirkan mereka buta, tapi mata hati mereka tidak pernah buta.
much love for you, this post:""""))))))))
ReplyDeletewkwkwk yede :')
Delete