Pages

Friday, August 29, 2014

Sepasang Orang Buta

Sepulang dari rumah sakit, gue dan nyokap gue melihat seorang pria paruh baya yang menggunakan tongkat untuk keluar dari sebuah masjid, usai menunaikan sholat Jumat. Pria itu menggandeng seorang pria paruh baya lain yang juga menggandeng seorang pria lainnya. Ya, mereka bertiga saling bergandengan tangan untuk keluar dari masjid ke arah parkiran yang penuh motor. Sempat menyenggol motor, akhirnya ketiga bapak tadi ditolong oleh orang-orang yang berada di sana.

Satu persatu dari ketiga bapak tadi pun masuk ke angkot yang gue dan nyokap gue naiki. Hingga akhirnya tinggal satu bapak yang belum naik. Kedua bapak yang sudah berada di angkot pun memulai percakapan.

“Mana si Mu’in?” kata salah satu dari bapak tersebut.
“Dia nunggu istrinya.” Kata bapak yang lainnya.

Dan pemandangan berikutnya menurut gue adalah pemandangan yang paling mengharukan yang pernah gue liat. Bapak bertongkat tadi berjalan di tengah-tengah parkiran yang penuh motor, menggandeng seorang wanita paruh baya yang menggunakan jilbab, yang gue rasa adalah istrinya. Orang-orang disana pun memandu mereka keluar menuju angkot dan akhirnya keduanya pun duduk.

“Ini dia si Mu’in”

Lalu satu persatu orang buta mulai keluar dari masjid. Dua di antaranya menaiki angkot, yang lainnya memilih untuk pulang jalan kaki. Mereka saling menyapa satu sama lain seperti orang biasa, walaupun mereka tidak bisa melihat siapa orang yang menyapanya.

Mereka bercakap-cakap layaknya orang biasa, kebanyakan tentang khotbah yang baru aja mereka dengar dari sholat Jumat barusan. Gue rasa mereka sudah berteman lama karena mereka saling mengenal nama satu sama lain. Melihat mereka mengobrol agak mengiris hati gue, karena mereka mengobrol seru dengan pandangan lurus ke depan tanpa melihat lawan bicaranya. Tanpa sadar gue memejamkan mata; mencoba untuk merasakan rasanya jadi orang buta.

Mata gue masih terpejam, mereka masih mengobrol asik. Gue bisa merasakan keseruan mereka mengobrol tentang poligami. Mereka sama sekali tidak menyinggung ketidakmampuan mereka untuk melihat. Gue merasa seakan-akan gue berada di tengah-tengah orang normal walaupun pada kenyataannya gue berada di tengah-tengah enam orang buta. Ya, meskipun pada dasarnya mereka adalah orang-orang normal yang memiliki kekurangan fisik.

Salah satu dari mereka mengeluarkan uang lima ribu rupiah dan menggumamkan sesuatu ke supir angkot. Kemudian ia memasukan uangnya kembali dan mengambil sepuluh ribu rupiah untuk diberikan ke supir. Sang supir pun memberikan kembalian seribu rupiah. Dan gue mulai bertanya-tanya, apakah mungkin ada orang yang tega membohongi orang buta? Bagaimana kalo kumpulan orang-orang buta itu dibohongi oleh orang-orang sekitarnya, terutama mengenai uang?

Ah, pengen rasanya untuk menanyakan langsung mengenai berbagai pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Tapi melihat mereka saling tertawa dan bercerita, gue merasa salut karena mereka tidak seperti orang kebanyakan yang selalu mengeluh atas cobaan-cobaan kecil yang dilimpahkan Tuhan.

Ketika sampai di suatu tempat, istri dari pak Mu’in berkata, “Ini mah masih jauh”. Dan yang lainnya menimpali, “Ini masih di Asem”. Ya, Asem itu nama tempat. Loh…..kok mereka bisa tau? Gue kaget. Mereka sama sekali ngga nanyain ke orang yang ada di angkot udah sampai mana, bahkan ngga bilang ke supir angkotnya. Mereka tau sendiri. Nyokap gue langsung berbisik ke gue, “Hebat”.

Ngga lama kemudian salah seorang dari mereka berteriak “KIRI”. Tiga orang bapak yang ngga bisa melihat itu pun turun setelah mengucapkan perpisahan dengan tiga orang buta lainnya; Pak Mu’in, istrinya, dan seorang wanita paruh baya.

Terus gue perhatiin pak Mu’in dan istrinya. Gue langsung senyum-senyum sendiri karena gue bisa merasakan ketulusan cinta dari keduanya. Mereka sama sekali ngga bisa melihat paras satu sama lain sehingga pastinya cinta mereka murni. Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang wanita daripada dicintai secara tulus.

Tuhan mungkin telah menakdirkan mereka buta, tapi mata hati mereka tidak pernah buta.

2 comments: